Penulis lepas, seringnya berpuisi tapi juga suka bercerita. Memiliki koleksi delapan buku ber-ISBN, salah-satunya mendapatkan penghargaan dari Kemendikbudristekdikti. Sekarang masih menulis dan akan selalu begitu.
Panggung Kebodohan Penuh Kepalsuan
14 jam lalu
Kau mulai meragu kalau hidup di zaman ini ilusi atau benar kenyataan, kebodohan menular lebih cepat dari kebaikan.
Kita hidup di sebuah panggung raksasa, sebuah pameran kepalsuan yang setiap hari dipertontonkan. Jalan-jalan kota penuh dengan manusia yang berjalan dalam keseragaman; wajah mereka dipoles oleh klaim kemajuan, tetapi mata mereka kosong, jiwanya hampa, dan langkahnya rapuh. Mereka seolah besar, seakan cahaya lampu menyoroti setiap geraknya, padahal sesungguhnya mereka hanyalah bagian dari kerumunan, orang-orang yang tak pernah benar-benar berdiri sendiri, hanya mengikuti arus tanpa tahu arah.
Di zaman ini, nilai manusia bukan lagi ditentukan oleh kebijaksanaan, melainkan oleh angka—angka gaji, angka pengikut, angka barang yang dibeli untuk dipamerkan. Kebenaran digantikan oleh statistik, martabat ditukar dengan validasi instan. Kita membeli bukan karena kebutuhan, melainkan karena ingin diakui. Kita bekerja bukan demi kebaikan, melainkan demi ilusi penghargaan dari orang asing yang tak peduli dengan siapa kita sebenarnya.
Inilah peradaban maha palsu: tubuh diperindah, pikiran dikosongkan; kebaikan dipamerkan, keburukan disembunyikan di bawah karpet moralitas murahan. Kita mengaku dermawan hanya ketika kamera merekam, kita terlihat bijaksana hanya ketika kalimat kita bisa dikutip dan dibagikan. Kebenaran sudah lama terkubur, digantikan oleh tontonan. Hidup kita telah berubah menjadi pertunjukan tanpa akhir, di mana setiap orang adalah aktor yang terus bermain peran, bahkan ketika tak ada lagi penonton yang tersisa.
Kemunafikan bukan lagi penyakit, ia telah menjadi sistem. Media sosial adalah pasar ilusi di mana manusia menjajakan wajah terbaiknya, meski di balik layar ia sedang hancur. Setiap unggahan adalah topeng, setiap senyum adalah dagangan. Kita hidup untuk dipuji, bukan untuk jujur. Kita mencari perhatian, bukan kebijaksanaan.
Orang-orang menilai dirinya bebas, padahal mereka terikat pada penjara yang dibangun oleh validasi orang lain. Mereka berbondong-bondong menuju mimbar kepalsuan, tanpa menyadari rantai yang melilit leher mereka semakin kencang. Mereka bangga menjadi modern, padahal sesungguhnya mereka hanyalah budak baru dalam sistem lama: sistem yang menjadikan manusia bukan lagi individu, melainkan angka, bukan lagi jiwa, melainkan barang dagangan.
Dan ketika semua orang sibuk berpura-pura, siapa yang masih berani berkata jujur? Siapa yang masih sanggup mengakui kelemahan tanpa takut dicemooh? Kita telah kehilangan keberanian itu. Kita lebih memilih hidup dalam kepalsuan yang nyaman, ketimbang menghadapi kenyataan yang pahit.
Inilah zaman kita: zaman di mana kemajuan tak lebih dari cat tipis yang menutupi tembok rapuh; zaman di mana kebenaran ditenggelamkan oleh tepuk tangan penonton; zaman di mana manusia berbondong-bondong memuja diri sendiri, tapi melupakan jati dirinya.
Dan jika peradaban ini terus berlanjut, kita tak akan meninggalkan warisan selain reruntuhan kepalsuan—sebuah dunia yang gemerlap di permukaan, namun busuk di dalamnya.

Rama Kurnia Santosa
3 Pengikut

Panggung Kebodohan Penuh Kepalsuan
14 jam lalu
Sejarah Hanya Berganti Wajah
Jumat, 5 September 2025 09:40 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler